Samarinda, 24 juli 2013
Malam ini untuk kedua kalinya aku
ikut sholat tarawih yang 20 rakaat di masjid di dekat kos. Yach, memang
dimasjid ini gaya NU-nya terlihat banget karena pengurusnya orang banjar.
Memang rata-rata orang banjar lebih banyak terlihat NU-nya, bukan bermaksud
untuk membeda-bedakan antara NU dan Muhammadiyah, lebih-lebih lagi
membedakannya dengan Syi’ah. Ini terlihat karena lebih banyak amalan-amalan
sunnah yang dikerjakan dimasjid ini khususnya dibulan Ramadhan ini.
Didalam rangkaian sholat tarawih
setiap selesai salam maka kumandang sholawat untuk Nabi Muhammad SAW selalu
bergema yang membuat suarana meriah didalam masjid. Ini dilakukan bukan dalam
arti untuk berteriak-teriak ketika beribadah, namun ini dimaksudkan untuk
mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi yang diungkapkan dengan memperbanyak
sholawat. Bukan hanya itu, nama 4 sahabat Nabi yang terkenal pun disebut setiap
selesai 4 rakaat.
Berbagai pandangan banyak
terlihat mengenai pelaksanaan aktifitas ini. dari Muhammadiyah lebih sedikit
melakukan aktifitas ini karena mereka memahami bahwa pada zaman rasulullah
tidak ada melakukan aktifitas semacam ini walaupun ada beberapa yang lain
melaksanakannya. Dikalangan NU aktifitas ini seakan wajib dilaksanakan karena
kecenderungan yang dilakukan adalah membuktikan rasa kecintaan atau untuk
menumbuhkan rasa cinta itu sendiri kedalam hati ummat agar bisa mencintai Nabi
sehingga berdampak pada ketauladanan terhadap sifat-sifat Nabi dalam kehidupan
sehari-hari.
Malam ini juga kali pertama dibulan
ramadhan ini aku sholat dimasjid dekat kos. Ketika sampai didepan pintu masjid
aku bertemu dengan bapak-bapak yang punya warung didepan kos, kebetulan juga
dia orang kutai. Ketika mata kami saling bertemu (jiah, kaya bertatapan dengan
cewek aja. Hahaha), ku lemparkan senyum kepada bapak itu dan mulailah dialog
kecil dengan bahasa kutai.
“apa lawas nade kelihatan ni?” bapak itu bertanya.
“merasai maha sembehyang dimasjid-masjid berbeda setiap malam.”
Jawabku
“ada malam meriantu nade ye tukang sholawat disini” ujar bapak itu
dan ku jawab dengan senyum menyungging kecil dan bapak itu pun langsung
beranjak masuk kedalam masjid dan melaksanakan sholat sunnah qobla isya. Tak
lama kemudian aku pun masuk kedalam masjid dan ketika sudah berniat untuk
melaksanakan sholat qabla isya eh ternyata udah mau iqomah, yah gak jadi dech
sholat sunnahnya.
Malam ini udah kesekian kalinya
aku membuktikan bahwa penampilan luar itu memang mempengaruhi sikap orang
terhadap kita, karena malam ini aku Cuma pakai celana levis dan baju koko trus
pake kopiah. Bulan puasa yang lalu setiap ke masjid aku pakai sarung, paling
tidak pakai celana kain, baju koko, kopiah, dan tak ketinggalan sorban.
(pokoknya kaya ustadz-ustadz gitu dah). Biasanya aku didekati oleh pegelola
masjidnya dan diarahkan untuk sholatnya berdekatan dengan imam, pokoknya tidak
jauh dari imam deh. Tugas yang biasanya diberikan ketika tarawih adalah membaca
sholawat dan membaca do’a. pokoknya kalo sudah membaca do’a tu, kalah-kalah
kiyai kalo dilihat dari kefasihannya (pembualan mode on. Padahal awal dan
akhirnya aja yang jelas terdengar. Hahaha).
Setelah sholat isya ada tausiyah
yang disampaikan oleh imam. Tausiyah yang disampaikan biasanya berisi tentang
motivasi-motivasi dalam melaksanakan ibadah dibulan ramadhan. Penekanan isi
tausiyah ada pada besaran pahala yang ada dibulan ramadhan dibandingkan dengan
bulan-bulan lainnya. “bayangkan jika kita melaksanakan ibadah diluar bulan
ramadhan itu nilainya satu, tapi ketika dibulan ramadhan pahalanya akan
dilipat-gandakan sampai 700 kali. Bayangkan betapa ruginya kita jika tidak
melaksanakan ibadah-ibadah dibulan ini” kira-kira seperti itu yang disampaikan
oleh tuan guru itu.
Tuan guru juga menyampaikan ada
satu malaikat yang diciptakan oleh Allah yang mempunyai 4 kepala, dan setiap
kepala (antara kepala satu dengan yang lainnya) jaraknya 1000 tahun perjalanan.
Ketika menyampaikan itu para jama’ah terlihat terkejut mendengar apa yang
disampaikan oleh tuan guru tersebut. “Hah???
Jaraknya 1000 tahun perjalanan??? Jauh banget yaa???” begitulah kira-kira
yang bisa ku tebak dari melihat ekspresi para jama’ah. Sebuah ekspresi yang
lazim terlihat ketika ada ulama menyampaikan ceramah ataupun tausiyahnya dengan
memberikan cerita-cerita yang tak jarang sangat jauh dari rasional.
Melanjutkan cerita tuan guru dulu
sedikit. Hehehe…
Kepala yang pertama selalu
bersujud dan memuji kepada Allah SWT.
Kepala yang kedua selalu melihat
ke neraka, yang melihat betapa pedihnya siksaan yang Allah berikan kepada
orang-orang yang masuk kedalamnya.
Kepala yang ketiga selalu
memandang ke surge, yang melihat nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada
hamba-hambaNya yang bertaqwa.
Kepala yang keempat selalu
melihat kepada Lauhul-Mahfuzh.
Secara umum ketika mendengar yang
disampaikan oleh tuan guru tersebut tentang malaikat yang diciptakan Allah
dengan 4 kepala, pasti yang tergambar didalam pikiran kita adalah yang serupa
dengan bentuk manusia yang mempunyai 4 kepala. Yang pastinya juga akan
tergambar betapa anehnya bentuk semacam itu. Yang lebih pasti lagi adalah para
jama’ah pasti akan menerima dengan mudah apa-apa yang telah dia dengarkan
tersebut walaupun sama sekali tidak masuk akal, atau juga karena memang
keterbatasan pengetahuan.
Kaum sufi maupun filosof ketika
berbicara tentang malaikat sudah pasti tidak akan beranggapan seperti orang
awam yang menggambarkannya sebagaimana manusia, namun mereka beranggapan bahwa
malaikat itu berada pada alam akal, yang jika disimbolisasikan maka kaum sufi
atau filosof lebih memilih cahaya untuk menggambarkannya. Jangan jauh ah bahas
tentang pandangan kaum sufi dan filosof, nanti bisa panjang dan juga njelimet.
Intinya itulah sekelumit isi dari tausiyah sebelum sholat tarawih yang saya
dapatkan pada malam ini.
Ketika selesai 2 rakaat pertama
dalam sholat tarawih, saatnya sholawat dikumandangkan. “fadhlamminallahi wani’mah” kalimat awal dan dijawab oleh jama’ah
dengan “wa maghfirataw-warahmah”,
baru dilanjut dengan sholawat sebanyak 3 kali. Dalam pembacaan sholawat ini
biasanya terlihat bertingkat.
“Allahumma sholli ‘ala sayidina Muhammad”
“Allahumma sholli ‘ala rasulika sayidina Muhammad”
“Allahumma sholli ‘ala rasulika sayidina, wa habibina, wa syafi’ina, wa
dzukhrina, wa barakatina, wa maulana Muhammad”
Setiap satu kali sholawat
dikumandangkan, jama’ah menjawab dengan “Allahumma
sholli wa sallim wabarik ‘alayhi”. Namun anak dari bapak yang sempat
bertegur sapa dengan saya tadi, kelupaan dengan sholawat yang ketiga itu karena
lebih panjang dari yang lain, sehingga para jama’ah ikut bersuara membantu
untuk mengingatkannya. Maklumlah, ketika awal-awal mencoba untuk tampil didepan
public pasti ada rasa gugup dan gerogi. Tapi jangan sampai rasa gugup dan
gerogi itu menjadi penghalang kita untuk tampil dikemudian hari. Justru
semangat kita untuk kembali tampil seharusnya menjadi lebih bersemangat lagi
dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena pada dasarnya
untuk mendapatkan sesuatu yang berkaitan dengan keahlian harus melalui tahap
latihan.
Saya teringat dengan Abah jadinya
ini. dulu Abah pernah member nasihat kepada saya dan juga kepada saudara dan
saudari saya. Katanya “kalau diminta jadi
imam sholat jangan menolak, kalau diminta untuk membaca do’a jangan menolak.
Jangan berpikir takut salah, yang penting kita berani maju”. Sampai
sekarang kata-kata itu masih terngiang diingatan. Memang sewaktu kecil ketika
masih SD sampai SMP, dibulan puasa biasanya dirumah kami seperti musholla.
Pasti sholat tarawihnya dirumah, tetangga-tetangga berkumpul dirumah kami untuk
melaksanakan sholat isya dan tarawih berjama’ah. Memang pada saat itu Abah
dipandang sebagai orang yang lumayan tahu dalam melaksanakan beberapa ritual
agama. Yach walaupun beliau sebelum masuk Islam, dia menganut animisme (sebuah
kepercayaan yang menyembah pohon-pohon gitu), sebuah kepercayaan yang dianut
oleh orang suku dayak benua
pedalaman.
Ada pesan Abah yang masih sangat
jelas teringat dan redaksinya pun masih jelas terpatri dalam ingatan yaitu “Jangan sampai kamu menampakkan bahwa kamu
adalah anak ma’pot”. Ma’pot itu
adalah sebuah ejekan kami kepada Abah karena dia pernah menyebutkan kalimat
seperti ini “intakarode beyau selengat
ma’pot”. Gak tau dech itu bahasa dayak betulan atau tidak, tapi yang pasti
kami hanya teringat ma’pot-nya aja. Makanya jadi dech bahan ejekan yang
menyebutkan kami adalah anak ma’pot. Arti dari pesan Abah itu adalah untuk
tidak menunjukkan image bahwa anak seorang mualaf (orang yang baru masuk Islam)
mempunyai sikap jelek dan mengusahakan merubah pandangan jelek orang-orang
kepada anak seorang mualaf yang intinya adalah Jadilah anak yang baik yang bisa
membanggakan orang tua. Semoga saya bisa tetap menjaga dan menjalankan pesan
Abah tersebut. Amin Yaa Robb…
No comments:
Post a Comment