NEWS

Friday, July 26, 2013

Nasihat Abah


Samarinda, 24 juli 2013

Malam ini untuk kedua kalinya aku ikut sholat tarawih yang 20 rakaat di masjid di dekat kos. Yach, memang dimasjid ini gaya NU-nya terlihat banget karena pengurusnya orang banjar. Memang rata-rata orang banjar lebih banyak terlihat NU-nya, bukan bermaksud untuk membeda-bedakan antara NU dan Muhammadiyah, lebih-lebih lagi membedakannya dengan Syi’ah. Ini terlihat karena lebih banyak amalan-amalan sunnah yang dikerjakan dimasjid ini khususnya dibulan Ramadhan ini.

Didalam rangkaian sholat tarawih setiap selesai salam maka kumandang sholawat untuk Nabi Muhammad SAW selalu bergema yang membuat suarana meriah didalam masjid. Ini dilakukan bukan dalam arti untuk berteriak-teriak ketika beribadah, namun ini dimaksudkan untuk mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi yang diungkapkan dengan memperbanyak sholawat. Bukan hanya itu, nama 4 sahabat Nabi yang terkenal pun disebut setiap selesai 4 rakaat.

Berbagai pandangan banyak terlihat mengenai pelaksanaan aktifitas ini. dari Muhammadiyah lebih sedikit melakukan aktifitas ini karena mereka memahami bahwa pada zaman rasulullah tidak ada melakukan aktifitas semacam ini walaupun ada beberapa yang lain melaksanakannya. Dikalangan NU aktifitas ini seakan wajib dilaksanakan karena kecenderungan yang dilakukan adalah membuktikan rasa kecintaan atau untuk menumbuhkan rasa cinta itu sendiri kedalam hati ummat agar bisa mencintai Nabi sehingga berdampak pada ketauladanan terhadap sifat-sifat Nabi dalam kehidupan sehari-hari.


Malam ini juga kali pertama dibulan ramadhan ini aku sholat dimasjid dekat kos. Ketika sampai didepan pintu masjid aku bertemu dengan bapak-bapak yang punya warung didepan kos, kebetulan juga dia orang kutai. Ketika mata kami saling bertemu (jiah, kaya bertatapan dengan cewek aja. Hahaha), ku lemparkan senyum kepada bapak itu dan mulailah dialog kecil dengan bahasa kutai.

apa lawas nade kelihatan ni?” bapak itu bertanya.
merasai maha sembehyang dimasjid-masjid berbeda setiap malam.” Jawabku
ada malam meriantu nade ye tukang sholawat disini” ujar bapak itu dan ku jawab dengan senyum menyungging kecil dan bapak itu pun langsung beranjak masuk kedalam masjid dan melaksanakan sholat sunnah qobla isya. Tak lama kemudian aku pun masuk kedalam masjid dan ketika sudah berniat untuk melaksanakan sholat qabla isya eh ternyata udah mau iqomah, yah gak jadi dech sholat sunnahnya.

Malam ini udah kesekian kalinya aku membuktikan bahwa penampilan luar itu memang mempengaruhi sikap orang terhadap kita, karena malam ini aku Cuma pakai celana levis dan baju koko trus pake kopiah. Bulan puasa yang lalu setiap ke masjid aku pakai sarung, paling tidak pakai celana kain, baju koko, kopiah, dan tak ketinggalan sorban. (pokoknya kaya ustadz-ustadz gitu dah). Biasanya aku didekati oleh pegelola masjidnya dan diarahkan untuk sholatnya berdekatan dengan imam, pokoknya tidak jauh dari imam deh. Tugas yang biasanya diberikan ketika tarawih adalah membaca sholawat dan membaca do’a. pokoknya kalo sudah membaca do’a tu, kalah-kalah kiyai kalo dilihat dari kefasihannya (pembualan mode on. Padahal awal dan akhirnya aja yang jelas terdengar. Hahaha).

Setelah sholat isya ada tausiyah yang disampaikan oleh imam. Tausiyah yang disampaikan biasanya berisi tentang motivasi-motivasi dalam melaksanakan ibadah dibulan ramadhan. Penekanan isi tausiyah ada pada besaran pahala yang ada dibulan ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. “bayangkan jika kita melaksanakan ibadah diluar bulan ramadhan itu nilainya satu, tapi ketika dibulan ramadhan pahalanya akan dilipat-gandakan sampai 700 kali. Bayangkan betapa ruginya kita jika tidak melaksanakan ibadah-ibadah dibulan ini” kira-kira seperti itu yang disampaikan oleh tuan guru itu.

Tuan guru juga menyampaikan ada satu malaikat yang diciptakan oleh Allah yang mempunyai 4 kepala, dan setiap kepala (antara kepala satu dengan yang lainnya) jaraknya 1000 tahun perjalanan. Ketika menyampaikan itu para jama’ah terlihat terkejut mendengar apa yang disampaikan oleh tuan guru tersebut. “Hah??? Jaraknya 1000 tahun perjalanan??? Jauh banget yaa???” begitulah kira-kira yang bisa ku tebak dari melihat ekspresi para jama’ah. Sebuah ekspresi yang lazim terlihat ketika ada ulama menyampaikan ceramah ataupun tausiyahnya dengan memberikan cerita-cerita yang tak jarang sangat jauh dari rasional.

Melanjutkan cerita tuan guru dulu sedikit. Hehehe…
Kepala yang pertama selalu bersujud dan memuji kepada Allah SWT.
Kepala yang kedua selalu melihat ke neraka, yang melihat betapa pedihnya siksaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang masuk kedalamnya.
Kepala yang ketiga selalu memandang ke surge, yang melihat nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa.
Kepala yang keempat selalu melihat kepada Lauhul-Mahfuzh.

Secara umum ketika mendengar yang disampaikan oleh tuan guru tersebut tentang malaikat yang diciptakan Allah dengan 4 kepala, pasti yang tergambar didalam pikiran kita adalah yang serupa dengan bentuk manusia yang mempunyai 4 kepala. Yang pastinya juga akan tergambar betapa anehnya bentuk semacam itu. Yang lebih pasti lagi adalah para jama’ah pasti akan menerima dengan mudah apa-apa yang telah dia dengarkan tersebut walaupun sama sekali tidak masuk akal, atau juga karena memang keterbatasan pengetahuan.

Kaum sufi maupun filosof ketika berbicara tentang malaikat sudah pasti tidak akan beranggapan seperti orang awam yang menggambarkannya sebagaimana manusia, namun mereka beranggapan bahwa malaikat itu berada pada alam akal, yang jika disimbolisasikan maka kaum sufi atau filosof lebih memilih cahaya untuk menggambarkannya. Jangan jauh ah bahas tentang pandangan kaum sufi dan filosof, nanti bisa panjang dan juga njelimet. Intinya itulah sekelumit isi dari tausiyah sebelum sholat tarawih yang saya dapatkan pada malam ini.

Ketika selesai 2 rakaat pertama dalam sholat tarawih, saatnya sholawat dikumandangkan. “fadhlamminallahi wani’mah” kalimat awal dan dijawab oleh jama’ah dengan “wa maghfirataw-warahmah”, baru dilanjut dengan sholawat sebanyak 3 kali. Dalam pembacaan sholawat ini biasanya terlihat bertingkat.
Allahumma sholli ‘ala sayidina Muhammad
Allahumma sholli ‘ala rasulika sayidina Muhammad
Allahumma sholli ‘ala rasulika sayidina, wa habibina, wa syafi’ina, wa dzukhrina, wa barakatina, wa maulana Muhammad

Setiap satu kali sholawat dikumandangkan, jama’ah menjawab dengan “Allahumma sholli wa sallim wabarik ‘alayhi”. Namun anak dari bapak yang sempat bertegur sapa dengan saya tadi, kelupaan dengan sholawat yang ketiga itu karena lebih panjang dari yang lain, sehingga para jama’ah ikut bersuara membantu untuk mengingatkannya. Maklumlah, ketika awal-awal mencoba untuk tampil didepan public pasti ada rasa gugup dan gerogi. Tapi jangan sampai rasa gugup dan gerogi itu menjadi penghalang kita untuk tampil dikemudian hari. Justru semangat kita untuk kembali tampil seharusnya menjadi lebih bersemangat lagi dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena pada dasarnya untuk mendapatkan sesuatu yang berkaitan dengan keahlian harus melalui tahap latihan.

Saya teringat dengan Abah jadinya ini. dulu Abah pernah member nasihat kepada saya dan juga kepada saudara dan saudari saya. Katanya “kalau diminta jadi imam sholat jangan menolak, kalau diminta untuk membaca do’a jangan menolak. Jangan berpikir takut salah, yang penting kita berani maju”. Sampai sekarang kata-kata itu masih terngiang diingatan. Memang sewaktu kecil ketika masih SD sampai SMP, dibulan puasa biasanya dirumah kami seperti musholla. Pasti sholat tarawihnya dirumah, tetangga-tetangga berkumpul dirumah kami untuk melaksanakan sholat isya dan tarawih berjama’ah. Memang pada saat itu Abah dipandang sebagai orang yang lumayan tahu dalam melaksanakan beberapa ritual agama. Yach walaupun beliau sebelum masuk Islam, dia menganut animisme (sebuah kepercayaan yang menyembah pohon-pohon gitu), sebuah kepercayaan yang dianut oleh orang suku dayak benua pedalaman.

Ada pesan Abah yang masih sangat jelas teringat dan redaksinya pun masih jelas terpatri dalam ingatan yaitu “Jangan sampai kamu menampakkan bahwa kamu adalah anak ma’pot”. Ma’pot itu adalah sebuah ejekan kami kepada Abah karena dia pernah menyebutkan kalimat seperti ini “intakarode beyau selengat ma’pot”. Gak tau dech itu bahasa dayak betulan atau tidak, tapi yang pasti kami hanya teringat ma’pot-nya aja. Makanya jadi dech bahan ejekan yang menyebutkan kami adalah anak ma’pot. Arti dari pesan Abah itu adalah untuk tidak menunjukkan image bahwa anak seorang mualaf (orang yang baru masuk Islam) mempunyai sikap jelek dan mengusahakan merubah pandangan jelek orang-orang kepada anak seorang mualaf yang intinya adalah Jadilah anak yang baik yang bisa membanggakan orang tua. Semoga saya bisa tetap menjaga dan menjalankan pesan Abah tersebut. Amin Yaa Robb…

No comments:

Post a Comment